DI DEPAN MEJA RIAS
sebatang lipstik mendekat. Aromanya liar.
dengan pandai dilumatnya bibirku.
dia meneteskan:
arak, kekentalan susu, dan aroma asin aku melihat topeng menari-nari lewat mataku (seorang laki-laki mendekat) Kau perlukan segenggam bedak.
kurebut kucairkan di wajahku aku mulai mengurai butir-butir itu menutupi lubang pori-pori wajahnya.
Pori-pori itu diam, menikmati kehangatannya Sebatang pensil alis mengangkat dirinya tinggi-tinggi.
Dia pandai memainkan huruf-huruf di atas mataku dia mulai melukis dan membuat huruf baru katanya: huruf ini hanya milik perempuan (seorang laki-laki mendekat) dia kagumi keliaran warna-warna yang melekat.
aku mulai menggeliat, agak panas.
benda-benda itu terus menahanku.
aku berloncatan, mengurai diriku.
hati-hati kubakar wajahku.
(laki-laki itu menjauh)
TANAH BALI
(1)
mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu
atau hidup tak pernah mengajari keindahan
daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung
tak pernah mendongengkan silsilah padamu
aku ingat
ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku
dan leluhur duduk dekat kali
menjulurkan kaki, kain mereka dibiarkan basah
air kali memandikannya dengan riang
aku sering berlari dengan sepeda roda tiga
mengitari kali
pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura
katanya, aku harus tahu silsilah tanah
beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah
Baliku harum
darah para penari telah jadi api
membakar kesuburan bunga-bunga tanahku
anak-anak tetap bermain
dekat tepi kali seorang perempuan menunggu cucunya
ikan-ikan kecil, bau tanah basah
memberi kemudaan bagi nafasnya
(2)
pahamkah kau arti jadi tanah?
pertanyaan ini mungkin tak pernah kaukenal
langit yang melindungimu dari busur matahari
membuatmu lupa pada darah leluhur yang sering menyiram bentukmu
suara delman yang membangunkan perempuan-perempuan pasar
terbungkus jadi dongeng
jauh di seberang, langit mulai kaumusuhi
tak ada karang dan buih bisa dipahat jadi peradaban
pribumi tololkah yang menempati sepetak tanah?
keterasingan membungkus setiap bumi yang dipijak
kita mungkin masih punya Pura
yang kaulirik juga jadi tempat permainan
ke mana para leluhur penari Sang Hyang mementaskan keakuannya?
tak ada upacara memikat leluhur pulang
air di tepi kali Badung tak ingin disentuh
perempuan tua yang sering mengantar cucunya
kehilangan kali
berapa silsilah tanah kaupahami?
siapa yang kaupercaya menanggung kesalahan ini?
kalau kau punya pohon
atau tanah yang tak memilki keharuman bunga padi
pada siapa kau akan bercerita tentang kebesaranmu?
orang-orang tanpa mata, hati dan kepala
hanya berani meminang keindahan tanahmu
kau menari di atas tubuhnya
katakan padaku, tarian apa yang kaupahami?
(3)
selagi para perempuan menitipkan doa lewat bunga-bunga
Pura-Pura menggigil
muntahannya membasahi patung-patung
tangan-tangan asing ikut memberi pahatan
Pura-Puraku
telah bercerita pada hujan
yang tak akan melahirkan benihnya
beratus tarian yang hanya dipahami para dewa luntur
patahannya membunuh bunga-bunga padi
upacara tak lagi memiliki suara sendiri
para perempuan yang sering dibangunkan suara delman
tak lagi tahu keindahan tubuh padi
asap membungkus setiap tanah yang kupijak
kulihat darah mengalir deras
kulihat luka batu karang di lautan
kulihat langit pecah
bahkan tak bisa kubedakan warnanya
orang-orang dari pesisir menyeberang
menanam beratus bangkai baru
pribumikah yang menangis di sudut-sudut kota
tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya
bahkan untuk mencium tanah
para pemilik peta, pemilik kali Badung, pemilik laut
bahkan para dewa harus membayar bau tanah miliknya
(4)
mana tanahku yang sempat mengotori kaki kecilku
mana upacara kelahiranku
lengkap dengan beragam bunga dan daun hutan
yang membasuhku jadi pemilik tanah ini
mana para leluhur
yang sering mendongengkan silsilah kebesaran manusia
mana para penari
yang khusuk meminjam malam mempelajari taksu dewa tari
sejarah tak lagi memiliki kebesaran
karena tanah tak lagi kaukenali
selagi daun-daun mempersiapkan kematian
berapa petak tanah kausisakan untuk penguburan ini?
1994
RITUS
"aku tak lagi memiliki tubuh, apalagi hati. Apa kau masih mengenalku? Seorang laki-laki tanpa detak jam di tubuhnya. Bahkan tak mampu kumiliki tubuhmu. Aku takut warnamu, aku takut wujudku sendiri!"
"usiamu singkat. Carilah tubuh yang lain, kau tanami daging, gumpalan darah, dan air mataku. Kelak kau temukan ladang puisiku, mungkin dia rapuh dan penuh penyakit. Kau tak akan mengenalku"
2001
OKA RUSMINI, Dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Aku mempunyai hobi menulis puisi, novel dan cerita pendek. Banyak memperoleh penghargaan, antara lain “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Sering diundang dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional. Di antaranya Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda, sekaligus hadir sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman (2003). Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) dan Erdentanz (novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, 2007).