Friday, July 20, 2018

PARADE PUISI 7 PENYAIR WANITA YOGYAKARTA
























Dorothea Rosa Herliany
Nelayan Tersesat

"sampanku tersesat di sebuah negeri terbuka,"
jerit seorang nelayan kecil dan papa.
"di manamana pintu. siapa pun bebas memasukinya."
(ikanikan merubung dan ternganga).

nelayan kecil itu bagai telah terbebas
dari sebuah lorong tertutup dan gelap.
dindingdinding memantulkan sakit
dan nestapa.

"berkatalah, dan mereka akan mendengar," ia
berkata. "bukalah mulutmu, dan tangantangan
tergapai menyalammu." (ikanikan merubung 
dan ternganga).

"sampanku tersesat di sebuah negeri terbuka.
mereka akan mendengar harapan dengan tegursapa.
untuk apa kail, sebab banyak mulut yang sedia
menjadi wakil untuk membunuh rasalapar kita."
(ikanikan merubung dan ternganga).

seorang nelayan kecil dan papa. matanya tak 
cukup tajam untuk merabaraba. hatinya terlalu
teduh buat keisengan tegursapa. dadanya terlalu
terbuka buat harapanharapan.

kebisuan dindingdinding langit yang dingin 
mendesis dan meronta. derita terkibas
sayapsayap emasnya.

1992

























Abidah El Khalieqy
Aku Hadir

Aku perempuan yang menyeberangi zaman
membara tanganku menggenggam pusaka
suara diam
menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
raja raja memecahkan wajah
silsilah kekuasaan

Aku perempuan yang merakit titian
menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangkan impian di ladang ladang mati
musik gelisah dari kerak bumi

Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari

Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi

1991


























Ulfatin CH
Catatan Tugu

Seperti tanganmu
melambai pagi itu di Stasiun Tugu
Tak ada peluit yang mengabarkan kehadiran
juga keberangkatan yang begitu tiba-tiba
Tapi, aku tak lupa jaketmu tertinggal
juga jejak yang terus mengekal
pada setiap lorong sunyi Taman Sari
Malioboro, Jalan Mataram, dan Batas Kota
Kini, jalan-jalan itu sudah terkemas
di antara etalase yang penuh mainan
makanan dan juga pakaian
Kau mau kemana?
Di bawah beringin malam-malam
menunggu Jathilan atau menunggu
aku

2013


























Ita Dian Novita
Doa Pengantin

Mengapi puisi doa pengantin
Saat shubuh menguap malam
Laut didepan menyimpan napas kita
Yang diam-diam selalu kita cumbui
Agar tak hilang 
Di semak waktu


























Herlinatiens
Lelaki Puisi

pada langitjiwa
; lelaki puisi yang senyumnya serupa
keberangkatan musim dingin dan
kepak sayap merpati
dimana puisi hendak kau dirikan lagi?
sebab huruf dan kata menjadi begitu purba untuk
kita menari di atasnya

mari kuceritakan kisah kecil
tentang sebuah kota dimana tak
lagi kutemukan puisi dan kata
; manusianya derita
gedung-gedung seluruhnya palsu
kembang dan buah tak lekas
dan jejak sepatu hanya meninggalkan
kenangan yang kejar bayang

maka padamu wahai
langitjiwa kekasih huruf dan kata
selamatkanlah kota dengan puisimu
sebab langit cemas menunggu

Yogyakarta, 5 Februari 2009



























Mutia Sukma
Perjamuan Setan
: Bagi instalasi agus rianto

pagi ini kami datang ke sebuah perjamuan
bentuk meja yang bundar dan membuat aku
dan dia duduk berhadapan
arah duduk kami sengaja menghadap jendela
sebab membuat semakin leluasa memilih hidangan mana
yang akan disantap lebih dahulu
mengisi piring dan gelas kami yang kosong
merencanakan mana yang akan dimakan menjadi pembuka
dan mana yang akan dimakan selanjutnya

perjamuan ini rahasia
karena kami berencana makan seadanya
apa yang tertunjuk jari itulah yang akan kami santap
dengan nikmat
tak perlu minum anggur untuk memanaskan badan
sebab pertemuan kami dilingkupi banyak kehilangan
dan rasa dendam

kubiarkan mereka menghina kami
membangun sarang buih di sudut bibir mereka yang tebal
sebab nama yang telah lama disiapkan untuk mereka
hanya memperlancar rencana kematian mereka
yang cepat
kami membantu membukakan pintu ajal
dan mereka mengantar kami ke puncak kenikmatan


























Evi Idawati
Engkau, Kematian Puisi 
dan Dada yang Dipenuhi Airmata

Sebagaimana engkau menuliskan dalam kematian puisi, saat pekat dan  gelap menaungi, kau mempersembahan cinta untuk seseorang yang kau inginkan tertidur di hatimu selamanya, engkau pasti tahu,  ia telah binasa. Bukan aku yang membunuhnya tetapi tangis dan hujaman nyeri dari sebuah perjalanan membangun kubahlah yang membakarnya hingga tak bersisa. Begitupun dirimu, tanpaku, hanya menunggu waktu, hanya menunggu debu.

Kepurnaanmu bukanlah karena doa-doaku yang terhujam dan menancap dalam belikat waktu. Takdir yang menyetubuhi masa hanya membawa sebuah kembaran dalam peristiwa. Engkau, kematian puisimu, dan dada yang dipenuhi airmata.

Bukankah, bumi, matahari dan lautan tertikam? Seperti engkau membunuh langit yang tinggal di rahimku dan mencambuknya berkali-kali hingga ia gugur di pangkuanku bersama tangis dan doaku? Berapa gelas engkau mengguyurku dengan hitungan yang sama engkau akan meneguk darahmu sendiri yang kau congkel dari kucuran matamu. Maka, Jika engkau ingin mati, biarkan aku melihatmu sambil sesekali kuseka dada yang dipenuhi airmata. Bukankah sudah tersedia darah dalam tubuhmu, yang akan menyertai kematian dan kebinasaanya? 

Itulah mengapa meski tubuhku dipenuhi luka, di depan pintu, aku akan berdiri menyaksikanmu, akan kutaburi tubuhmu dengan tasbih dan doa karena bagiku, luka sama artinya dengan cinta. 

Engkau bergembira di dalam waktu dengan melecut tubuhku. Aku terlukai dan memilih berdiam di dalam kubah, memahatkan luka, memahatkan keabadian, di dalam langit, di dalam tawajuh yang teguh dan kukuh pada subuh.

Jogja 2012

Sunday, July 15, 2018

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

TENTANG USINARA

Usinara, yang menyerahkan jagat dan darahnya untuk
menyelamatkan seekor punai yang terancam kematian,
tahu dewa-dewa tak pernah siap. Mereka makin tua.
Langit menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka
sejak cinta dibunuh. Timbangan terlambat. Telah tujuh
zaman asap & api penyiksaan mengaburkan mata siapa saja.

Di manakah batas belas, Baginda? “Mungkin tak ada,”
jawab Usirna. Ia hanya menahan perih di rusuknya
ketika tujuh burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh,
bukan satu), merenggut dagingnya, selapis demi selapis.

Sering aku bayangkan raja yang baik hati itu tergeletak
di lantai, memandang ke luar pintu, melihat debu sore
dan daun-daun yang pelan-pelan berubah ungu. Ia ingin
punai itu segera lepas. “Ayo, terbang. Aku telah
menebus nyawamu,” ia ingin berkata. Tapi suaranya tak terdengar.

Sementara itu, di sudut, si punai menangis: “Tak ada
dewa yang datang dan mengubah adegan ini jadi
dongeng!” Usirna hanya menutup matanya. Ia tahu
kahyangan adalah cerita yang belum jadi.

2012


TENTANG MAUT

Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.

Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.

Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.

Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya
di ujung gang dan berjalan tak menentu.

Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada
gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit yang meluap.

Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.
Atau hampir putus.

2012



GOENAWAN MOHAMAD menulis puisi. Karyanya antara lain Parikesit (1969) dan Interlude (1971). GM mengubah haluannya tatkala Tempo akhirnya dibredel. Kendati majalah yang dipimpinnya sejak 1971 lahir kembali pada 1998, GM memutuskan lengser dari kursi pemimpin redaksi. la memilih berkutat dalam komunitas budaya di Teater Utan Kayu. Selain itu, ia juga sibuk dengan lahan barunya, Radio Berita 68 H yang dioperasikan ISAI (Institut Studi Arus lnformasi).

Sajak-Sajak Isma Sawitri

TIGA SERANGKAI 

Tiga serangkai lampu beca
ya mustapa ya mustapa
tiga serangkai lampu beca
di sisi kiri di sisi kanan
yang satu berkaca merah
satunya lagi berkaca putih
yang di tengah berkaca hijau

Tiga serangkai lampu beca
dibawa berkayuh terayun-ayun
malam berlenggang menurun embun
ya mustapa mari pulang
ke sarang nyamuk ke sarang lalat
ke sarang mimpi
tempat sangkutan topi
ya mustapa
kokok ayam diri hari

1962


MIMPI 

Hidup adalah bagian terbaik dari mati
Dan kau adalah bagian terbaik dari mimpi


ISMA SAWITRI (lahir di Langsa, 21 November 1940; umur 77 tahun) adalah penulis asal Indonesia. Dia menempuh kuliah di jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun tidak menamatkan pendidikannya di kedua fakultas tersebut. Dia mengawali karirnya sebagai wartawan di Angkatan Bersenjata, Pedoman, Femina, dan Tempo. Karya-karyanya antara lain: Kwatrin (kumpulan puisi), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (antologi puisi, 1979, Ed. Toeti Heraty), Tonggak 2 (antologi puisi, 1987, Ed. Linus Suryadi AG), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (antologi puisi, Ed. Korrie Layun Rampan), Sembilan Kerlip Cermin (antologi puisi, 2000). Puisinya dibicarakan secara luas oleh Korrie Layun dalam bukunya yang berjudul Wanita Penyair Indonesia (s. 1997).

Saturday, July 14, 2018

Sajak-Sajak Leon Agusta

Mengembara

Dengan mesra kusandang dosa itu
Sebab sudah diamanatkan bagiku: mengembara
Bagi pribadiku, yang berjalan jauh

Hingga telah lama kami berpisah
Nafas damai dan tidur yang nikmat
Setelah duka diterima tanpa kesumat

Kini aku arus larutan di dasar ruap
Menghempas sendiri
Loncat dan terusir dari segala dekapan
Setelah amanat diterima: mengembara



Bunga dan Kucing
: Jufri Tannisan

Yang tahu hanya sekuntum bunga
Betapa hausnya terhadap cinta
Sepasang daun gugur di atas kanvas
Dan kulihat juga seekor kucing
Begitu tenang dia menatapnya

Yang tahu hanya sekuntum bunga
Betapa hausnya terhadap cinta
Sepasang daun layu di atas kanvas
Dan kucing itu begitu tenang
Begitu tenang dia menatap pada kita

Jakarta, 1964


LEON AGUSTA, lahir 5 Agustus 1938 di dusun Sigiran, pinggir danau Maninjau. Berhenti menjadi pegawai pemerintah selepas menandatangani Manifesto Kebudayaan (1964). Atas dakwaan pasal 107 KUHP, dari Januari hingga Juli 1970 ia menjalani hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru. Sejumlah sajak yang ia tulis selama di penjara dimuat di majalah sastra Horison edisi Desember 1970. Peritiwa Malari (1974) membuat ia sempat pula ditahan di Padang. Setelah mengikuti International Writing Program, di Iowa City, Amerika Serikat (1976), Leon mengembara di sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Gendang Pengembara adalah buah dari pengembaraan kepenyairan Leon yang tiada bakal berujung.

Sajak-Sajak Oka Rusmini (Bali)

DI DEPAN MEJA RIAS

sebatang lipstik mendekat. Aromanya liar.
dengan pandai dilumatnya bibirku.
dia meneteskan:
arak, kekentalan susu, dan aroma asin aku melihat topeng menari-nari lewat mataku (seorang laki-laki mendekat) Kau perlukan segenggam bedak.
kurebut kucairkan di wajahku aku mulai mengurai butir-butir itu menutupi lubang pori-pori wajahnya.
Pori-pori itu diam, menikmati kehangatannya Sebatang pensil alis mengangkat dirinya tinggi-tinggi.
Dia pandai memainkan huruf-huruf di atas mataku dia mulai melukis dan membuat huruf baru katanya: huruf ini hanya milik perempuan (seorang laki-laki mendekat) dia kagumi keliaran warna-warna yang melekat.
aku mulai menggeliat, agak panas.
benda-benda itu terus menahanku.
aku berloncatan, mengurai diriku.
hati-hati kubakar wajahku.

(laki-laki itu menjauh)


TANAH BALI

(1)
mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu
atau hidup tak pernah mengajari keindahan
daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung
tak pernah mendongengkan silsilah padamu

aku ingat
ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku
dan leluhur duduk dekat kali
menjulurkan kaki, kain mereka dibiarkan basah
air kali memandikannya dengan riang

aku sering berlari dengan sepeda roda tiga
mengitari kali
pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura
katanya, aku harus tahu silsilah tanah
beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah

Baliku harum
darah para penari telah jadi api
membakar kesuburan bunga-bunga tanahku

anak-anak tetap bermain
dekat tepi kali seorang perempuan menunggu cucunya
ikan-ikan kecil, bau tanah basah
memberi kemudaan bagi nafasnya

(2)
pahamkah kau arti jadi tanah?
pertanyaan ini mungkin tak pernah kaukenal
langit yang melindungimu dari busur matahari
membuatmu lupa pada darah leluhur yang sering menyiram bentukmu

suara delman yang membangunkan perempuan-perempuan pasar
terbungkus jadi dongeng
jauh di seberang, langit mulai kaumusuhi
tak ada karang dan buih bisa dipahat jadi peradaban

pribumi tololkah yang menempati sepetak tanah?
keterasingan membungkus setiap bumi yang dipijak
kita mungkin masih punya Pura
yang kaulirik juga jadi tempat permainan
ke mana para leluhur penari Sang Hyang mementaskan keakuannya?

tak ada upacara memikat leluhur pulang
air di tepi kali Badung tak ingin disentuh
perempuan tua yang sering mengantar cucunya
kehilangan kali
berapa silsilah tanah kaupahami?
siapa yang kaupercaya menanggung kesalahan ini?

kalau kau punya pohon
atau tanah yang tak memilki keharuman bunga padi
pada siapa kau akan bercerita tentang kebesaranmu?

orang-orang tanpa mata, hati dan kepala
hanya berani meminang keindahan tanahmu
kau menari di atas tubuhnya
katakan padaku, tarian apa yang kaupahami?

(3)
selagi para perempuan menitipkan doa lewat bunga-bunga
Pura-Pura menggigil
muntahannya membasahi patung-patung
tangan-tangan asing ikut memberi pahatan

Pura-Puraku
telah bercerita pada hujan
yang tak akan melahirkan benihnya
beratus tarian yang hanya dipahami para dewa luntur
patahannya membunuh bunga-bunga padi

upacara tak lagi memiliki suara sendiri
para perempuan yang sering dibangunkan suara delman
tak lagi tahu keindahan tubuh padi

asap membungkus setiap tanah yang kupijak
kulihat darah mengalir deras
kulihat luka batu karang di lautan
kulihat langit pecah
bahkan tak bisa kubedakan warnanya

orang-orang dari pesisir menyeberang
menanam beratus bangkai baru
pribumikah yang menangis di sudut-sudut kota
tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya

bahkan untuk mencium tanah
para pemilik peta, pemilik kali Badung, pemilik laut
bahkan para dewa harus membayar bau tanah miliknya

(4)
mana tanahku yang sempat mengotori kaki kecilku
mana upacara kelahiranku
lengkap dengan beragam bunga dan daun hutan
yang membasuhku jadi pemilik tanah ini
mana para leluhur
yang sering mendongengkan silsilah kebesaran manusia
mana para penari
yang khusuk meminjam malam mempelajari taksu dewa tari

sejarah tak lagi memiliki kebesaran
karena tanah tak lagi kaukenali

selagi daun-daun mempersiapkan kematian
berapa petak tanah kausisakan untuk penguburan ini?

1994


RITUS

"aku tak lagi memiliki tubuh, apalagi hati. Apa kau masih mengenalku? Seorang laki-laki tanpa detak jam di tubuhnya. Bahkan tak mampu kumiliki tubuhmu. Aku takut warnamu, aku takut wujudku sendiri!"

"usiamu singkat. Carilah tubuh yang lain, kau tanami daging, gumpalan darah, dan air mataku. Kelak kau temukan ladang puisiku, mungkin dia rapuh dan penuh penyakit. Kau tak akan mengenalku"

2001



OKA RUSMINI, Dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Aku mempunyai hobi menulis puisi, novel dan cerita pendek. Banyak memperoleh penghargaan, antara lain “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Sering diundang dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional. Di antaranya Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda, sekaligus hadir sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman (2003). Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) dan Erdentanz (novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, 2007).